Pameran & workshop 12 perupa Yogyakarta
"Mencetak-tercetak"
1 – 10 Desember 2014
PEMBUKAAN: 1 Desember 2014 pukul 19.00
Dibuka oleh: Romo G. Subanar Dimeriahkan dengan Demo Modeling oleh Yul Hendri dan musik oleh Selo Ing 7 Karya performance di pembukaan, judul:” Ajaran” oleh Tri Suharyanto feat Mujar Sangkerta. Artists Talk: 2 Desember 2014, pukul 14.00-17.00. Workshops: 4-10 Desember 2014, pukul 13.00-16.00 bersama perupa peserta pameran. Penyelenggara: KOMHARO Studio dan TERAS Print Studio Perupa: Dedy Sufriadi, Farhansiki, Ariswan Adhitama aka “Nyameng”, Komroden Haro, Supar Madiyanto, Syahrizal Pahlevi, Wiyono, Tri Suharyanto, Nur Hanifah “Ipeh”, Kurma Elda Gustrianto, Nugroho (“Ho2x) dan Endang Lestari. Pengantar Kuratorial MENCETAK - TERCETAK / Printing & Moulding Oleh: Syahrizal Pahlevi "Jika ada kegiatan “mencetak” maka akan ada sesuatu yang “tercetak”. Istilah mencetak adalah kosa kata bahasa Indonesia yang familiar dikalangan perupa. Istilah ini biasa dipergunakan untuk menyatakan sebuah proses yang dilakukan seniman/pekerja seni dalam usaha menghasilkan karya dengan karakter dan tujuan tertentu. Seperti para pegrafis yang melakukan kerja mencetak plat kayu, linoleum, karet, logam atau batu yang telah diproses sebelumnya ke atas sebidang kertas atau support untuk mentransfer image yang diinginkannya. Sebagian pematung juga melakukan pekerjaan mencetak dengan terlebih dahulu membuat penampang cetak agar logam/resin/plastik cair yang dicorkan ke dalamnya membeku hingga bentuk yang diharapkannya terjadi. Sebagian seniman keramik menerapkan teknik mencetak yang diambil dari model utama untuk menduplikasi bentuk sebelum memasuki proses pembakaran, glasir dan seterusnya. Jika dahulu para fotografer melakukan proses kamar gelap sendiri untuk mencetak hasil fotonya maka sekarang tersedia berbagai teknologi cetak canggih yang mempermudahnya. Sedangkan bagi beberapa perupa tertentu pekerjaan mencetak dibutuhkannya guna membuat elemen pendukung dari lukisan, objek atau instalasinya. Pengertian mencetak atau printing dalam proses kerja seni grafis berbeda dengan pengertian mencetak dalam proses kerja seni patung yang biasa disebut moulding atau molding. Dalam seni grafis perupa membuat acuan cetak berupa plat terbuat dari kayu, karet, logam, batu yang diproses sesuai tekniknya seperti: dicukil atau dikolase untuk relief print, ditoreh atau dietsa untuk intaglio, digambar untuk lithography atau planograph dan dibuat klise untuk silk screen. Dari plat atau klise tersebut setelah melalui serangkaian tahapan cetak barulah kemudian dapat dihasilkan gambar/image di atas support atau bidang cetak. Keunikannya kecuali untuk teknik silk screen dan stencil, dengan kebanyakan teknik seni grafis ini image/gambar yang dihasilkan hadir dalam posisi terbalik. Disamping seniman akan mendapatkan karakter gambar yang khas yang tidak mungkin dicapai dengan teknis lain atau dilukis secara langsung misalnya, proses printing ini diperlukan pegrafis untuk menghasilkan penggandaan atau membuat edisi dalam jumlah yang diinginkannya yang prosesnya sendiri disebut editioning. Proses moulding dalam seni patung didahului dengan membuat kerangka kaku dari bahan tertentu (biasanya gypsum) sebagai mold atau penampang cetakan untuk menampung material cair yang akan dicorkan ke dalamnya. Setelah terjadi pembekuan dan bentuk telah didapatkan barulah dilakukan tahap lanjutan dan finishing seperti penghalusan permukaan, pengecatan ataupun melapisi permukaan dengan bahan lainnya sesuai ide seniman. Mold sendiri umumnya dibuat berdasar model temuan atau model yang sengaja dibuat seniman. Dengan demikian sedikitnya akan ada dua kali tahap “mencetak” yaitu; pertama seniman membuat cetakan negatif dengan cara merekam permukaan model secara langsung dan tahap kedua seniman menghasilkan cetakan positif berdasarkan mold tersebut. Dalam seni patung proses moulding ini digunakan karena tuntutan teknis dimana ada material tertentu yang tidak mungkin diperlakukan melalui teknik modeling, assembling dan carving. Konsekwensi dari teknik ini adalah pematung dapat mencetak berkali-kali menggunakan mold yang sama dan menghasilkan bentuk yang serupa. Berdasarkan pemahaman tersebut dapat dikatakan istilah printing dan moulding sama-sama menunjukkan mengenai sebuah proses pengerjaan karya yang bersifat tidak langsung karena memerlukan acuan cetak (yaitu plat/klise dalam seni grafis dan mold dalam seni patung) dan sama-sama berakibat hasil cetakan dapat diperbanyak atau bersifat “multiple”. Sebenarnya potensi multiple inilah yang menjadi gagasan awal menghadapkan teknik seni grafis dan teknik seni patung dalam proyek perdana pameran di KOMHARO Studio ini. Jika dalam seni grafis potensi multiple menjadi keniscayaan maka dalam seni patung ia adalah pilihan. Pilihan ini juga sepertinya mendorong adanya tren karya beberapa pematung dewasa ini yang dibuat edisi atau dicetak banyak dan diberi keterangan edisi mirip kebiasaan penomeran dalam seni grafis, seperti 1/9, 3/9 dan seterusnya. Pameran dan workshop “Mencetak-Tercetak” ini memang berangkat dari perbincangan teknik yang diakrabi oleh perupa, namun setiap peserta yang terlibat tetap diberi kelonggaran bereaksi terhadap tema yang disodorkan. Peserta bebas untuk membuat penegasan, melakukan perluasan makna dan membuat interpretasi sendiri dalam karyanya. Untuk memperkuat perbincangan selain menampilkan karya jadi, setiap peserta juga menyertakan “artefak cetakan” baik berupa plat/klise hingga mold dalam keadaan yang bisa dipertahankan/dipertontonkan. Aspek edukasi termasuk kedalam sasaran yang dihasratkan oleh pameran ini, karenanya setiap peserta wajib memberi workshop kepada publik yang tertarik mempelajari teknik yang digelutinya.. Seniman yang terlibat: 1. Dedy Sufriadi, dikenal sebagai pelukis dengan kecenderungan mengolah beragam teknik lukis termasuk menerapkan teknik cetak silk screen. 2. Farhansiki, identik dengan street art artists. Selama ini banyak mengeksplorasi teknik stensil secara bebas dengan material yang beragam. 3. Ariswan Adhitama aka “Nyameng”, pegrafis dengan basis teknik woodcut. Ia sempat intens dengan hand-coloring woodcut dan karya ukuran besar. 4. Komroden Haro, pematung yang berkarya dengan teknik moulding dan assembling. Ia sangat tertarik mengkonstruksi lanjut karya-karyanya sendiri untuk konteks yang berbeda. 5. Supar Madiyanto, pematung yang menonjol dengan teknik assembling dan intens dengan permainan material. 6. Endang Lestari, seniman keramik yang banyak pengalaman. Karyanya menunjukkan praktek moulding untuk membangun objek instalasinya. 7. Wiyono, adalah pelukis yang menyukai permainan teknik seperti menerapkan teknik stempel untuk memperkuat gagasannya. 8. Syahrizal Pahlevi, pegrafis dengan teknik utama woodcut dan sering mengintegrasikan dalam instalasi dan performance. 9. Tri Suharyanto, pematung dengan teknik utama moulding. Ia juga sering menambahkan lukisan di atas permukaan patungnya. 10. Nur Hanifah “Ipeh”, mahasiswa aktif seni grafis. Karyanya menunjukkan kecenderungan mencampur beberapa teknik grafis seperti drypoint, etching dan silk screen. 11. Nugroho (Ho2x), pematung berbahan kayu. Ia menerapkan berbagai teknik mematung (carving, modeling dan assembling) termasuk pewarnaan atas permukaan kayunya. 12. Kurma Elda Gustrianto, pegrafis muda yang mencoba intens dengan intaglio atau cetak dalam disamping masih membuat karya dengan teknik lainnya. Inilah ke duabelas perupa yang tercetak melalui bingkai kuratorial. Selanjutnya pemirsa yang menentukan apakah hasil kerja ini akan terus “tercetak” ataukah berlalu begitu saja. CATATAN: Istilah mencetak dan tercetak juga sering dipakai di kehidupan sehari-hari untuk menyatakan suatu perbuatan atau keadaan. Misalnya di televisi kita mendengar pembaca berita mengatakan “Perusahaan tersebut tahun ini berhasil mencetak keuntungan hampir dua kali lipat dibanding tahun lalu”. Di kesempatan lain sebuah tabloid olah raga menuliskan laporannya, “Dalam pertandingan tadi malam antara kesebelasan X dan Y tercetak 5 gol dari para pemain kedua kesebelasan”. (Dari berbagai sumber dan perbincangan dengan seniman) ----------------------------------------------------------- Pidato sambutan Romo G. Subanar pada malam pembukaan Mencetak – Tercetak Dalam pengantar Pameran ini, Bung Syahrizal secara jernih (dan datar) menjelaskan tentang tema pameran ini Mencetak – Tercetak seolah tanpa perkara. Pelakunya, bahannya, tekniknya, dan hasilnya yang disebut “artefak cetakan”. Semua disampaikan secara clear dan distinct. Jelas dan terpilah. Maka printing disebut sendiri, moulding disebut sendiri. Semua jelas dan terpilah. Seakan tanpa perkara. Benarkah tanpa perkara? Saya sekarang justru memperkarakannya. Dan mengajak menunda menjawab, nanti dulu. Saya merasa ada perkara. Di mana perkaranya? Namanya mencetak – tercetak bukan perkara biasa. Katakanlah, sekarang kita berhadapan dengan ‘yang tercetak’. Yang disebut “artefak cetakan” . Ternyata artefak cetakan ini diberi judul, dinamai. Punya arti tertentu. Bagi pembuatnya. Tentu juga bagi para penikmatnya. Dengan judul kita diajak ke sana, atau justru dilarang ke sana. Kalau pencipta mau netral, disebut ‘ No title’ … BIngung? Males? Menyerahkan pada penonton? … Di sini ada perkara. Di depan ‘yang tercetak’ terdapat perkara. Di hadapan yang tercetak, saya dapat bicara melalui beberapa gaya. “In front of the image”, “in the image”, “beyond the image”. …. Kalau saya menempatkan diri di depan gambar, atau benda, saya bisa bicara tentang gambar atau benda ini. Speaking of/ about …. karena saya menempatkan diri di depan karya. Sehingga saya bicara tentang karya … Speaking about/ of …. Ada jarak karena berhadapan dengan karya itu. Kalau saya menempatkan diri in the image, saya bicara bersama gambar/ karya itu. Speaking with …. Saya menempatkan diri di dalam sana. Lalu bicara bersama …. Ada lagi posisi beyond the image. Saya tidak lagi berhadapan atau berdampingan dengan gambar, atau benda karya itu. Saya menempatkan karya itu mengatasi karya yang ada. Lalu saya bercakap-cakap dengannya. Tidak lagi dengan karya yang ada, tapi mengatasi. Saya malah jadi bercakap-cakap dengan karya itu. …. Nah, di sini ada perkara kan. Itu baru dengan ‘yang tercetak’. Apalagi perkara mencetak. Anda-anda yang hadir di sini: para perupa, Anda sekalian yang mencetak itu. Tentu Anda punya pengalaman masing-masing. Ini perkara panjang. Bukan sekedar seperti yang ditulis Bung Syharizal dalam pengantar: (“Pameran Mencetak-Tercetak ini memang berangkat dari perbincangan teknik yang diakrabi oleh perupa, namun…) ada kata namun... “ setiap peserta pameran yang terlibat tetap diberi kelonggaran bereaksi terhadap tema yang disodorkan. Peserta bebas membuat penegasan, melakukan perluasan makna hingga kemungkinan membuat negasi….” Justru karena peserta diberi kelonggaran, diberi kebebasan …. Yang memungkinkan perupa melakukan berbagai kemungkinan …. Nah, disini perkara mencetak juga menempatkan dirinya. Dalam mencetak ada perkara. …. Dari mana perupa berangkat sampai akhirnya menghasilkan “artefak cetakan”nya? Di sana proses kreatif berlangsung. Pengalaman apa yang dipilih dan diolah oleh Sang Perupa. Ada sebuah pengalaman estetik yang mendahului yang dialami Sang Perupa dalam menghasilkan karyanya. Dalam pengalaman estetik itu, sang perupa tidak berjarak dengan obyeknya. Dalam pengalaman estetik subyek dan obyek lebur menjadi satu. Entah pengalaman melihat, mendengar yang membuat Sang Perupa tersentuh dan melebur dalam pengalaman itu. …. Entah berapa lamanya, Sang Perupa tidak berjarak dalam pengalamannya itu. Sampai suatu saat, akan terjadi momen estetis, di mana Sang Perupa akan mengambil jarak dengan obyeknya. ….. Pengalaman melihat, pengalaman mengalami ketersentuhan dengan obyeknya. ….. Yang semula tak berjarak, akhirnya mulai berjarak dan mengolahnya. ….. Sampai akhirnya dipilih simbol-simbol tertentu yang akan direpresentasikan sebagai ungkapan dari pengalaman estetik yang dialaminya itu. Tentu ini menjadi sangat rumit. Memandang, merasa, berbicara, mengolah …. Dan mulai menimbang memilih bahan, membangun bentuk, mengeluarkan berbagai teknik untuk menghadirkan, mengkomunikasikan imajinasi yang dibangunnya untuk menghadirkan pengalaman estetiknya itu. Barangkali juga dengan meniru. Tapi tentu meniru tidak sembarang meniru. Apa yang ditiru, dipandang dengan cara bagaimana, dihadirkan dengan cara bagaimana, menggunakan bahan apa, semua mempunyai maksud dari peniruan tersebut. Dalam pengungkapan yang sederhana dan pendek ini, saya mau memperlihatkan Di sinilah perkara mencetak itu mempunyai perkaranya. Saya tak akan banyak bicara. Mari kita nikmati pameran ini. Berhadapan dengan “artefak cetakan” dari perkara “Mencetak - tercetak”. Yang tidak sederhana begitu saja. Kita bisa menempatkan diri di hadapan karya, kita bisa masuk di dalamnya. Atau bahkan meninggalkan bendanya, sehingga bisa bercakap-cakap dengan yang ada di balik sana. Seperti seorang anak yang sedang main boneka-bonekaan. Dia akan menghidupkan semua benda yang di depannya, sehingga ia berada di sana. Di seberang karya benda itu. ….. Terima kasih …. Salam sembarangan, Subanar 1 Desember 2014 |